Sekilas tentang Manaqib Syeikh El-Wihdah

 Sahabat Abdullah bin Mas’ud ra berkata :

 مَن كانَ مُسْتَنًّا ، فَلْيَسْتَنَّ بمن قد ماتَ ، فإنَّ الحيَّ لا تُؤمَنُ عليه الفِتْنَةُ  )رواه ابن عبد البر في جامع بيان العلم وفضله(

 “Barangsiapa yang ingin mencontoh seseorang, maka hendaknya mengambil contoh dari orang yang sudah meninggal. Karena yang masih hidup itu tidak aman/terjaga dari fitnah.”
(Ibnu `Abdil Barr - Jami’ Bayan Al-`Ilmi Wa Fadhlih) 

 

Alm KH Abdul halim Dimyathi bersama Syaikh Mahmud Jabr Al-Azhary dalam sebuah majelis


KH Abdul Halim Dimyathi, ayah sekaligus guru kami. Seorang yang bersahaja, seorang yang hidupnya berempati kepada setiap orang, semua kawannya merasa bahwa dia paling dekat dengan beliau. Lahir di Solo, pada tanggal 23 September 1945, dari keturunan KH Nahwi asal Bawean. Semasa mudanya menimba ilmu agama di ponpes Mojosari Nganjuk, pondok Kyai Zainuddin Mojosari. 

Juga berguru kepada para kyai sepuh dan para habaib Solo diantaranya; Habib Abu Bakar Al-Habsyi, Habib Ali bin Yahya, Abah Hud, mengaji kitab Ihya` kepada Habib Anis Al-Habsyi, dll. Saat beliau di Yogyakarta juga lama berguru kepada Kyai Mahfudz, Ustad Saleh Haidarah dari arab, dll. Lalu melanjutkan menimba ilmu di IAIN Sunan Kalijaga Fakultas Sastra Arab hingga mendapatkan gelar Sarjana. Sempat mengabdikan ilmunya sebagai dosen Sastra Arab di UGM.

Sebelum mengabdikan diri di jalan dakwah ila Allah, beliau juga seorang pengusaha sukses, ketua KADIN (kamar dagang dan industri) kabupaten Sragen, memiliki usaha pabrik sepatu, toko pakaian dan perusahaan cap kain yang sukses. Namun suatu saat, Allah berkehendak untuk menggunakan beliau di jalan dakwah ila Allah.

Jika Allah menaruh sayang kepada hamba-Nya, Dia akan menggunakannya. Allah takdirkan beliau berjumpa dengan rombongan dakwah ila Allah dari Pakistan, yang telah membuka cakrawala pemikiran beliau tentang hakekat kehidupan, tentang tujuan hadirnya seorang insan dalam kehidupan dunia yang fana ini. Lalu beliau berani ambil keputusan untuk mengorbankan semua hartanya, ketenarannya, kesenangannya, apapun miliknya untuk agama Allah.

Bu Nyai suatu saat pernah bertanya kepada beliau, “Kenapa engkau habiskan hartamu sampai seperti ini?” Beliau hanya menjawab sambil memberi semangat, "Suatu saat engkau akan bahagia!"

Bu Nyai masih teringat saat rumah dan pabriknya yang menjadi sumber rejekinya dirubah menjadi musholla untuk ibadah, pengajian dan kegiatan untuk dakwah, sehingga beliau bersama Bu Nyai pun rela untuk menaruh alas tidurnya di dapur, ruang paling belakang yang tersisa untuk ditinggali demi untuk memuliakan para tetamu pengajian dakwahnya yang semakin perlu tempat bagi mereka.

Sejak muda beliau terkenal pemurah. Pernah ada kerabatnya datang dan terkesan dengan kemeja bagus yang beliau pakai sambil memujinya. Beliau pun langsung masuk kamar, melepas kemejanya tersebut dan langsung menghadiahkannya.

Di masa tua beliau sifat itu tetap melekat. Ketika seorang tamu dari Syria Syeikh Ahmad Al-Khotib bertamu ke rumah beliau, lalu memuji sorban suriah yg beliau kenakan, sontak beliau langsung melepasnya dan memberikannya kepada syeikh tersebut sampai-sampai syeikh tersebut tak kuasa untuk menolaknya. Beliau rahimahullah tak pandai mengatakan ‘Tidak!’ bagi siapa saja yang berhajat padanya.

Wajahnya senantiasa tersenyum kepada siapa saja. Sehingga setiap orang merasa dirinyalah orang yang paling dekat dengan beliau.

Seorang kawan akrab beliau, Habib Haidar Al-Habsyi berkata, “Saya kagum dengan almarhum, semua orang mengklaim bahwa dirinya adalah kawan paling dekatnya almarhum, saya pun merasa saya adalah yang paling dekat dengan beliau.”

Tidak pandang bulu saat bergaul demi mengenalkan manusia kepada Allah ta'ala. Bu Nyai menceritakan bahwa selama beliau menemani almarhum dalam setiap perjalanannya, bertemu siapa saja beliau tak pernah diam. Selalu berkenalan dengan orang di sampingnya untuk diajak membicarakan iman, amal dan akherat.

Pernah beliau naik taksi bersama Bu Nyai. Lalu di dalam taksi Bu Nyai terkejut dan ketakutan ketika melihat sopir taksi yang dipilih oleh almarhum dalam perjalanannya adalah pemuda bertampang preman dan bertato di sekujur tubuhnya.

Setelah turun Bu Nyai mempertanyakan kenapa memilih sopir yang seperti itu, bukankah itu sangat resiko untuk berbuat jahat? Jawab beliau, “Jika bukan kita yang mendekati orang-orang seperti mereka, untuk kita kenalkan mereka kepada Allah, maka siapa lagi ?”

Pada pada hari Rabu, 12 Juli 2007 bertepatan pada 26 Jumada Tsani 1428 H beliau menghadap pada Allah ta'ala. Wafat pada saat menyambut tamu, saat menghidangkan minuman, saat berdialog tentang indahnya risalah Rasulullah ﷺ. Wafat di masjid Bilal ra, di rumah Allah ta'ala. Allah yang pilih beliau untuk digunakan di jalan dakwah, dan Allah pula yang menginginkan beliau wafat sebagai tamu-Nya di rumah-Nya. Saat beliau wafat, yang ada di dalam kantong jubahnya adalah tasbih dan miswak. Wafat dalam dakwah, dalam menyampaikan ilmu, dalam dzikir, dalam khidmat melayani tamu, di rumahnya Allah ta'ala.

Ketika tokoh kampung Pak Wardoyo menyiapkan jenazah beliau, ketika hendak memakaikan kain kafan, tiba-tiba Bu Nyai memanggil, dan menyodorkan kain kafan yang di tangannya. Bu Nyai katakan bahwa pesan almarhum dulu kalau wafat, supaya dipakaikan dengan kain kafan tersebut. Kafannya masih baru, dibeli sendiri oleh beliau, masih tertera nota pembeliannya tertanggal 18 Maret 2007. Seakan beliau sudah ada isyarat beberapa bulan sebelumnya bahwa Rabb-Nya sebentar lagi hendak memanggilnya.

Rahimakallah ayah yang baik, guru yang bijak, yang telah meninggalkan ummat, murid-murid, pesantren tahfidz Al-Quran, yang telah menghasilkan ribuan hafidz Al-Quran, para ulama, para da’i ila Allah, yang pasti akan menjadi ladang pahala jariyah yang membahagiakanmu disana...

Alfaatihah....

Tarim Al-Ghonnaa, 26 Rabi’ul Awwal 1442 H


Ditulis oleh :
Gus Ahmad Dzulfaqar bin KH Abdul Halim Dimyathi

Komentar