Tertib Awal Dakwah : PENGORBANAN ! Dari Al-Amin Menjadi Al-Majnun

(Petikan bayan Almarhum KH Abdul Halim Dimyathi saat Musyawarah Indonesia tahun 2006) 



 Tertib kehidupan Rasullullah ﷺ ini adalah tertib daripada turunnya kitab suci Al-Quran. Ketika Rasullullah ﷺ sebelum diangkat menjadi rasul, semua orang senang dan suka kepada beliau.

Kenapa Nabi ﷺ, bahkan sampai dibilang ‘al-amin’ yang artinya orang yang terpercaya, yang jujur, sehingga semua orang percaya kepada Nabi ﷺ? Sifat Nabi ﷺ ini adalah, jika dititipkan atau diamanahkan sesuatu, maka Rasulullah ﷺ akan mengembalikan barang yang dititipkan ini persis, tidak mengurangi apapun, pengembalian yang utuh kepada si pemilik. Berita tentang kejujuran Nabi ﷺ menyebar kesemua orang, sehingga dari setiap mulut mengatakan, “Al-amiin... al-amiin..”.

Suatu ketika ada pertengkaran hebat antar suku selama 3 hari 3 malam di Mekkah, yang dipertengkarkan adalah suku mana yang paling berhak mengangkat batu Hajar Aswad ini ke sisi Ka’bah ketika selesai renovasi. Setiap suku merasa merekalah yang paling berhak untuk meletakkan batu Hajar Aswad di Ka’bah. Akhirnya mereka bermusyawarah untuk mencari mufakat, karena mereka merasa sudah menghabiskan banyak waktu untuk bertengkar. Hasil keputusan musyawarah adalah menunjuk satu orang yang pertama kali masuk mesjid sebagai hakim mereka.

Atas kehendak Allah Swt, ternyata secara tiba-tiba yang masuk ke mesjid pertama kali ini adalah Rasullullah ﷺ. Begitu Rasullullah ﷺ masuk semuanya bersepakat, “Ini adalah al- amin…. Ini adalah al-amin...” Mereka berkata, “Dialah yang paling berhak menghakimi kita dalam menyelesaikan sengketa ini dan menentukan siapa yang pantas meletakkan Hajar Aswad ke tempatnya di Ka’bah.”

Setelah Nabi ﷺ masuk, mereka lalu meminta Nabi ﷺ untuk ikut bermusyawarah dengan mereka. Mereka curhat kepada Nabi ﷺ tentang masalah yang mereka hadapi dan meminta Nabi ﷺ menjadi hakim atas masalah tersebut. Asbab daripada sifat Nabi ﷺ yang cerdas, bijak, dan amanah, maka Nabi ﷺ meminta selendang kepada mereka peserta musyawarah. Lalu dari selendang tersebut diletakkanlah batu Hajar Aswad ini di tengah. Keempat suku yang bersengketa diminta oleh Rasullullah ﷺ untuk memegang setiap sudut dari selendang tersebut dan mengangkatnya untuk diletakkan di Ka’bah.

Maka asbab ini selesailah seluruh masalah sengketa dan pertengkaran oleh para suku tersebut. Maka gegap gempita semua orang berteriak, ”Inilah al-amin…. Inilah al-amin...” Siapa orang yang tidak senang dipuji? Siapa yang tidak senang dirinya mendapatkan gelar yang baik? Akan tetapi pujian dan celaan semua ini datangnya dari Allah, sebagai ujian kepada Nabi ﷺ.

Maka ketika Nabi ﷺ berkhalwat ke gua Hira, Nabi ﷺ diperintahkan membaca wahyu pertama yaitu dalam surat Al-Alaq: “Iqro!” yang artinya ‘bacalah!’

Umat islam diperintahkan untuk membaca. Apa yang diminta untuk dibaca? Sedangkan Al- Quran belum sempurna diturunkan. Ini karena ayat-ayat Allah ada ayat yang ditulis sebagaimana Al Quran secara dzohiriah, namun juga ada ayat-ayat yang bisa dilihat dari peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian di alam. Bahkan semua orang bisa membaca ayat Al Quran tersebut yang diperlihatkan dalam peristiwa dan kejadian. Setelah Rasullullah ﷺ membaca dan membaca keadaan ketika itu, maka suatu goncangan yang dahsyat dengan turunnya permulaan ayat Al-‘Alaq tersebut di bacakan oleh malaikat Jibril AS.

Asbab kejadian ini Rasullullah ﷺ dihibur oleh istrinya yang tercinta Sayyidatina Khadijah R.ha. Kedatangan Jibril ini mendatangkan goncangan yang luar biasa terhadap diri Nabi ﷺ karena merupakan suatu keanehan yang luar biasa bagi Nabi ﷺ ketika itu. Namun sang istri, Khadijah R.ha, penyejuk hati dan pendingin mata, mampu menenangkan keadaan Nabi ﷺ ketika itu, yang sedang kebingungan dan penuh tanda tanya. Ketika itu solusi dari sang istri adalah membawa sang suami kepada seorang alim besar zaman itu yaitu Waraqah bin Naufal. Waraqah bin Naufal membuka kitab didepan Rasullullah ﷺ dan Khadijah R.ha. Apa yang disampaikan oleh Waraqoh bin Naufal ?

لقد جاءك الناموس الأكبر كما أتى موسى عليه السلام و أنت نبي الأمة



Waraqah katakan, “Telah datang kepada engkau wahai Muhammad seorang malaikat yang besar, yang mulia, yaitu Jibril AS, sebagaimana Jibril AS datang kepada Musa AS, dan engkau adalah Nabi bagi ummat ini.”

Pemberitahuan daripada seorang alim ini, membuat Rasullullah merasa risau akan tanggung jawab yang besar. Lalu apa yang harus dilakukan setelah itu ? Apa yang harus dibuat ? Sehingga wahyu hidayah yang kedua setelah gua Hiro datang kembali melalui perintah kepada Rasullullah ﷺ :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡمُدَّثِّرُ ١  قُمۡ فَأَنذِرۡ ٢



“Wahai orang yang berselimut (Rasullullah ﷺ) bangkitlah (buanglah selimutmu), bergeraklah, beri peringatan..” (Al-Muddatsir : 1-2)

Semenjak saat itu keadaan berubah dalam diri Nabi ﷺ, beliau bergerak tidak henti dan tidak letih mendatangi setiap manusia, mengetuk setiap pintu, menelusuri lorong-lorong, menyampaikan agama Allah. Sehingga gelar yang Nabi ﷺ terima sebagai pujian kini sudah tidak ada lagi. Ini karena mereka saat itu punya adat, yang ingin dirubah Nabi ﷺ menjadi ibadat. Adat orang-orang pada saat itu suka menyembah dari pada 360 patung-patung yang berserakan disekeliling Ka’bah. Akan tetapi Rasullullah ﷺ menginginkan agar mereka menyembah hanya kepada Allah Swt.

Pada waktu itu tidak ada wirid, yang ada hanya lafadz : ‘Ayyuhannas quuluu la ilaaha illa Allahu tuflihu’ yang artinya ‘Wahai manusia, ucapkanlah la ilaaha illa Allahu maka kamu akan berjaya (bahagia atau selamat)”. Lafadz inilah yang dijadikan wirid diucapkan berulang-ulang, dijejalkan ke telinga orang-orang saat itu. Namun bagi orang keyakinannya ada kepada patung dan berhala, mereka tidak bisa menerima daripada ajakan Rasullullah ﷺ.

Karena antara ajakan dengan keinginan orang-orang pada saat itu berbeda, menyebabkan hati mereka berontak. Dari pemberontakan hati ini, dari hati yang sama dulu memuji ‘al-amin’, kini keluarlah cacian, ‘yaa sahir’ engkau adalah seorang penyihir, ‘yaa sya`ir’ engkau adalah seorang penyair, ‘yaa majnuun” engkau adalah seorang gila. Padahal baru kemarin rasanya mereka memanggil ‘al-amin’ kini berubah memanggil ‘al-majnun’. Namun Nabi ﷺ tidak patah dan berhenti hanya karena celaan ini. Ini karena Nabi ﷺ tidak terkesan akan pujian dan celaan. Inilah kehidupan yang betul-betul dicintai oleh Allah Swt, yaitu tidak terkesan dengan keadaan, tidak terkesan dengan pujian atau celaan.

Demikan pula ini ummat, dulu di kurun waktu awal. Maka kalau ada ummat yang berjalan seperti ini, pindah dari mesjid ke mesjid, mengetuk dari pintu ke pintu, bagi mereka yang simpati akan memberi gelar kepada mereka sebagai aulia-aulia Allah, ahlullah, para wali Allah. Namun sekarang Allah menguji apakah kita setia pada Allah dan pada kerja dakwah ini, atau terkesan kepada keadaan. Maka kini ada yang memberi gelar kepada kita sebagai teroris-teroris.

Mau pujian sebagai aulia Allah ataupun sebagai teroris, jangan kita lari, tetapi tetaplah berada dalam usaha Rasullullah ﷺ ini. Dengan cara seperti ini maka amal kita ini akan melekat pada diri kita, sebagaimana kehidupan daripada Rasullullah ﷺ. Rasullullah ﷺ tidak pernah terkesan dengan keadaan, tetapi terkesannya dengan perintah Allah Swt, begitupula dengan kita.

Orang yang mudah terkesan dengan keadaan, maka hidupnya akan terombang-ambing oleh berbagai peristiwa. Apabila kita tekuni daripada kerja Nabi ﷺ, dimana kerja Nabi ﷺ ini adalah jalan untuk mencintai Allah Swt. Sehingga orang-orang yang mengikutinya akan menjadi orang-orang yang dicintai oleh Allah Swt.

Sehingga murid daripada Rasullullah ﷺ, yaitu Abdullah bin Mas’ud RA, mengatakan : “La yasta’minu imanul abdi hatta yakuna qodihuhu wa madihuhu alaihi ﷺaa..” Artinya : “Maka tidak akan sempurna iman seseorang sehingga orang yang mencela kepadanya atau memuji kepadanya, baginya sama saja”

Maksudnya apa ? 1. Orang datang mencela atau menghina dia tidak terkesan, 2. Orang memujipun dia juga tidak terkesan. Baginya orang yang mencela atau memuji sama saja, tidak merubah daripada hatinya atau keimanannya. Terkesannya nanti pada kerja dakwah ini saja.

Komentar